—-
Seperti diketahui, lomba burung berkicau di Indonesia pertama kali
digelar di Jakarta, pertengahan tahun 1976, atau tiga tahun setelah
Pelestari Burung Indonesia (PBI) berdiri. Ketika itu, jenis burung yang
dilombakan masih sebatas burung impor, dan PBI masih menjadi
satu-satunya event organizer (EO) lomba burung.Untuk bisa melombakan burung lokal, seperti cucakrowo dan murai batu, sulitnya bukan main, serta harus diakali dengan siasat tertentu. PBI kemudian menyiasatinya dengan memberi label “Pameran dan Lomba Burung Berkicau”, bukan “Lomba Burung Berkicau”.
Lomba sesungguhnya tetap hanya diperbolehkan untuk burung impor seperti kenari, hwamei, robin, poksay, dan sejenisnya. Adapun pameran diisi dengan burung-burung lokal seperti cucakrowo, murai batu, anis merah, anis kembang, cendet, dan decu.
Meski berbeda nama, yang satu lomba dan satunya lagi pameran, aktivitasnya tidak berbeda: kontes suara burung. Sekali lagi, ini strategi PBI agar Kementerian Lingkungan Hidup mengizinkan kegiatan hobi burung berkicau seperti yang sekarang kita kenal sebagai lomba atau kontes.
Burung-burung lokal hanya boleh menggunakan istilah pameran, karena hampir semuanya berasal dari tangkapan alam. Pemerintah, di satu sisi, jelas tidak mendukung aktivitas penangkapan burung di alam liar, karena bisa mengancam populasinya dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Lima menteri ke rumah Sri Panudju
—-
Kabar menggembirakan datang dari Kabupaten Kulonprogo, DIY, tahun
1991. Salah seorang warga, bernama Drs Sri Panudju Karso, berhasil
menangkar salah satu jenis burung lokal yang “dipamerkan” alias
dilombakan, yaitu cucakrowo.Kabar tersebut menyebar kemana-mana, sampai-sampai lima menteri dalam Kabinet Pembangunan (era Pak Harto) datang sendiri ke rumah Sri Panudju, untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Rombongan menteri dipimpin langsung oleh Prof Dr Emil Salim, yang waktu itu menjabat Menteri Negara Lingkungan Hidup.
“Setelah melihat buktinya, seperti melihat indukan cucakrowo, juga piyik-piyik cucakrowo yang sedang saya loloh, Pak Emil Salim pun yakin kalau itu memang burung hasil penangkaran. Beliau merasa gembira dan puas,” kenang Sri Panudju Karso, ketika ditemui Timbul Sunoto, wartawan Tabloid Agrobur.
Sejak itulah, Kementerian KLH mengizinkan cucakrowo dilombakan, bukan lagi “dipamerkan”, meski esensi kedua istilah itu sebenarnya sama. Namun, Prof Emil Salim tetap memberi persyaratan ketat, yaitu burung yang dilombakan harus memiliki cincin (ring) pada kakinya, sebagai pertanda burung hasil breeding.
Meski demikian, berbagai even masih menggunakan label Pameran dan Lomba Burung. Bahkan, jika Anda membaca halaman Brosur Lomba Burung di Om Kicau, masih banyak EO yang hingga kini tetap menggunakan istilah tersebut.
Dari penangkaran cucakrowo itulah, Sri Panudju kemudian menulis beberapa buku tentang breeding cucakrowo, yang hingga kini menjadi referensi utama para penangkar burung mewah tersebut. Buku ini kemudian menginspirasi para penggemar burung lokal lainnya, untuk belajar menangkar berbagai jenis burung berkicau lainnya, mulai dari murai batu, kacer, anis merah, anis kembang, dan lain-lain.
Sayangnya, semua rintisan yang dilakukan Sri Panudju belum sepenuhnya diserap para pegiat lomba burung. PBI, sebagai EO resmi yang mendapat izin langsung menggelar Lomba dan Pameran Burung, belum sepenuhnya melombakan burung-burung hasil penangkaran.
Memang ada kelas ring seperti murai batu, anis kembang, dan cucakrowo, namun lebih banyak kelas non-ring. Begitu pula even-even yang digelar BnR maupun EO independen lainnya, jauh lebih banyak burung tangkapan hutan daripada burung hasil breeding yang berlomba.
Terlepas dari fakta tersebut, kita perlu memberikan apresiasi kepada Sri Panudju. Selain cucakrowo, dia juga berhasil menangkar hampir semua jenis burung lokal yang ramai dilombakan, kecuali cucak hijau yang dikenal susah karena tingkat stresnya yang tinggi. Semua itu dilakukannya sejak 1987.
Karena keahliannya dalam breeding dan perawatan burung, Sri Panudju sering dimintai bantuan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY. Rumahnya di Desa Gandingan, Kecamatan Wates, Kulonprogo, bahkan sering dijadikan tempat penitipan burung-burung dilindungi.
Di sekitar kediamannya, ada 700 meter persegi lahan yang digunakannya untuk memelihara puluhan jenis burung berkicau, termasuk cucakrawa, lovebird, dan sebagainya. Sebenarnya Sri Panudju masih memiliki lahan seluas dua hektare, yang rencananya mau disumbangkan untuk penangkaran burung-burung lokal Indonesia, khususnya yang terancam kepuanahannya.
“lni murni untuk untuk kepentingan lingkungan, bukan untuk komersial. Tentu kalau sendirian saya tak mampu, harus ada partisipasi dari pemerintah maupun lembaga non-pemerintah lainnya,” kata dia. Sungguh mulia! Ada yang berminat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar